Baca juga: AI Untuk Marketing, Kerja Pintar atau Licik?
Algoritma dalam media sosial adalah sistem pemrograman kompleks yang menentukan konten mana yang ditampilkan di beranda pengguna, bukan secara kronologis. Algoritma ini bekerja berdasarkan data interaksi pengguna seperti like, komentar, durasi tonton, dan riwayat pencarian, untuk mempersonalisasi pengalaman pengguna dan membuat mereka tetap berada di platform lebih lama. Tujuan utamanya adalah menyajikan konten yang paling relevan dan menarik bagi setiap individu.
Namun, algoritma media sosial bukanlah sesuatu yang statis. Setiap tahun, bahkan setiap bulan, platform besar seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga X (Twitter) terus memperbarui cara kerja algoritmanya. Tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kenyamanan pengguna, tetapi juga menyesuaikan tren perilaku digital, melawan konten spam, serta mengakomodasi kebutuhan kreator maupun pengiklan. Menariknya, meskipun sama-sama berfungsi untuk menyaring dan menampilkan konten yang relevan, masing-masing platform memiliki pendekatan dan prioritas yang berbeda. Karena itu, memahami cara kerja algoritma terbaru di 2025 menjadi kunci bagi siapa pun yang ingin memaksimalkan visibilitas konten mereka.
1. Algoritma TikTok
Berdasarkan Survei Profil Internet Indonesia tahun 2025 yang dilakukan oleh APJII, TikToki menjadi media sosial terpopuler di Indonesia dengan persentase 37.17% pengguna yang mengakses. Popularitas tersebut tidak hanya lahir dari konten hiburan, tren, atau video viral yang mendominasi platform ini. Lebih dari itu, TikTok kini juga dimanfaatkan sebagai sarana pemasaran digital yang sangat efektif. Memasuki tahun 2025, TikTok tidak lagi bekerja dengan algoritma yang sama seperti sebelumnya. Ada beberapa pembaruan penting yang perlu diperhatikan, di antaranya:
a. Batasan Hashtag
Pada 2025, TikTok hanya memperbolehkan penggunaan maksimal lima hashtag dalam satu unggahan. Perubahan ini mendorong kreator untuk lebih selektif dalam memilih hashtag yang benar-benar relevan dengan konten mereka, bukan sekadar menumpuk banyak kata kunci. Dengan demikian, algoritma lebih mudah membaca konteks dan mengarahkan video ke audiens yang tepat. Fokusnya kini ada pada kualitas, bukan kuantitas.
b. Optimalisasi Pencarian (Search Optimization)
TikTok kini semakin berkembang menjadi platform berbasis pencarian layaknya mesin pencari mini. Algoritmanya menilai apakah caption yang digunakan sudah menjawab pertanyaan atau kebutuhan pengguna. Oleh karena itu, penggunaan caption bergaya SEO yang ringkas, jelas, dan mengandung kata kunci, sangat memengaruhi seberapa mudah video ditemukan di hasil pencarian.
c. Control Feed “For You”
Salah satu perubahan signifikan adalah hadirnya fitur kontrol baru seperti “manage topics” dan “smart keyword filters.” Fitur ini memberi pengguna kendali lebih besar terhadap konten yang muncul di feed mereka. Algoritma akan menyesuaikan rekomendasi berdasarkan preferensi dan filter yang dipilih pengguna, sehingga pengalaman menonton terasa lebih personal dan bebas dari topik yang tidak diinginkan.
d. Dorongan pada Micro-Niche
Alih-alih menargetkan audiens luas, algoritma TikTok kini lebih menekankan distribusi konten ke komunitas kecil dengan minat yang sangat spesifik. Hal ini membuat kreator yang konsisten dan fokus pada satu niche lebih mudah membangun audiens setia. Konten yang sangat relevan akan lebih cepat menjangkau kelompok pengguna dengan ketertarikan serupa.
2. Algoritma Facebook
Selain TikTok, Facebook menyusul sebagai media sosial terpopuler di Indonesia dengan persentase pengguna mencapai 21,58% pada tahun 2025. Sama halnya dengan TikTok, Facebook juga menerapkan algoritma yang ketat untuk mengatur alur konten di platformnya. Tujuannya jelas: menjaga pengalaman pengguna tetap relevan dan membuat mereka betah berlama-lama menjelajahi berbagai fitur yang tersedia. Berdasarkan informasi yang ditemukan dalam laman Hootsuite, berikut terdapat beberapa cara kerja algoritma Facebook:
a. Lebih Berfokus pada Interaksi yang Autentik
Facebook semakin menekankan pentingnya interaksi yang bermakna antar pengguna. Algoritma akan memprioritaskan postingan yang mampu memicu percakapan, baik berupa komentar, diskusi, maupun balasan. Postingan yang hanya memperoleh sedikit interaksi atau dianggap kurang relevan akan berisiko kehilangan jangkauan. Hal ini menunjukkan bahwa Facebook tidak lagi hanya mengejar angka engagement, tetapi lebih mengutamakan kualitas interaksi. Bagi brand maupun kreator, artinya mereka perlu menyusun konten yang mengundang diskusi alih-alih sekadar konsumsi pasif.
b. Perhitungan Skor Relevansi
Setiap konten di Facebook kini dinilai menggunakan “skor relevansi”. Skor ini dihitung dari berbagai faktor, seperti riwayat interaksi pengguna, topik yang diminati, hingga kualitas postingan. Semakin tinggi skor relevansi suatu konten, semakin besar peluangnya untuk muncul di feed pengguna. Dengan sistem ini, algoritma berupaya memastikan bahwa setiap orang mendapatkan konten yang paling sesuai dengan minat dan kebutuhannya, bukan sekadar konten terbaru atau paling populer secara umum.
c. Rekomendasi Berbasis AI
Meta terus menyempurnakan sistem kecerdasan buatan mereka agar mampu memberi rekomendasi yang lebih akurat dan personal. Hingga saat ini, Facebook sudah memanfaatkan lebih dari 100 model prediksi berbeda untuk menentukan urutan konten di feed. Pada 2025, teknologi AI ini diperkirakan semakin cerdas, mampu membaca pola perilaku pengguna dengan lebih detail, dan menghasilkan feed yang sangat terpersonalisasi. Dengan begitu, setiap pengguna akan memiliki pengalaman yang unik, karena konten yang muncul di feed mereka akan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan masing-masing.
d. Ragam Konten yang Lebih Berwarna
Memasuki 2025, Facebook juga semakin mendorong keragaman jenis konten yang hadir di feed. Reels tetap menjadi salah satu format prioritas karena terbukti mampu menarik engagement tinggi. Namun, Facebook mulai memperluas fokusnya dengan menampilkan lebih banyak konten berbasis teknologi baru, seperti augmented reality (AR). Perubahan ini memberi peluang bagi brand dan kreator untuk berinovasi dalam menghadirkan pengalaman visual yang lebih imersif, tidak hanya mengandalkan format teks atau video pendek biasa.
3. Algoritma Instagram
Instagram tetap menjadi salah satu media sosial terpopuler di Indonesia maupun global, bukan hanya sebagai ruang berbagi foto dan video kreatif, tetapi juga sebagai kanal utama dalam strategi digital marketing. Bagi brand maupun pelaku bisnis, Instagram adalah etalase digital yang sangat efektif untuk membangun visibilitas, engagement, hingga konversi. Di balik itu semua, ada algoritma yang terus diperbarui dari waktu ke waktu untuk memastikan pengguna melihat konten yang paling relevan dengan minat mereka. Memasuki tahun 2025, perubahan pada algoritma Instagram menjadi semakin penting untuk dipahami, karena akan menentukan bagaimana sebuah konten mampu menjangkau audiens dan memengaruhi hasil pemasaran.
a. Fokus pada Kreativitas dan Koneksi
Instagram semakin menegaskan posisinya sebagai wadah konten orisinal dan kreatif. Adam Mosseri, selaku kepala Instagram, menyebutkan bahwa algoritma di 2025 akan lebih memprioritaskan konten yang unik, autentik, dan kreatif, bukan sekadar repost atau duplikasi tren lama. Hal ini sejalan dengan tujuan utama Instagram untuk menghadirkan pengalaman yang bermakna dan mendorong terciptanya koneksi nyata antar pengguna. Bagi kreator maupun brand, strategi ini berarti pentingnya menghadirkan ide segar, storytelling yang kuat, dan format konten yang bisa membangun kedekatan dengan audiens.
b. Shares sebagai Sinyal Peringkat Utama
Jika dulu likes dan komentar jadi tolok ukur utama, kini jumlah share (dibagikan ulang) semakin memiliki peran penting dalam algoritma Instagram. Konten yang memicu orang untuk menekan tombol share dianggap lebih bernilai karena mampu menciptakan percakapan di luar lingkaran awal audiens. Bagi pemasar digital, hal ini menjadi peluang untuk membuat konten yang tidak hanya menarik untuk dilihat, tetapi juga layak dibagikan, misalnya dengan menambahkan informasi bermanfaat, insight unik, atau format yang memicu rasa ingin berbagi.
c. Fitur Reset Rekomendasi
Salah satu fitur terbaru yang dirilis Meta adalah reset rekomendasi, yaitu kemampuan bagi pengguna untuk mengatur ulang algoritme mereka. Dengan fitur ini, pengguna bisa memulai ulang feed seolah dari awal, lalu membentuk kembali preferensi konten sesuai minat mereka sedikit demi sedikit. Dari sisi pemasaran, perubahan ini menuntut kreator dan brand untuk selalu relevan dan konsisten, karena audiens bisa dengan mudah “membersihkan” feed mereka dari konten yang dianggap tidak menarik atau mengganggu.
Kesimpulan
Perubahan algoritma media sosial di tahun 2025 menunjukkan arah baru yang semakin menekankan personalisasi, kualitas interaksi, kreativitas, dan keamanan pengguna. TikTok kini mendorong distribusi konten yang lebih niche dan relevan, Facebook memperkuat interaksi autentik serta rekomendasi berbasis AI, sementara Instagram menyoroti konten orisinal sekaligus menghadirkan pengaturan lebih ketat bagi pengguna muda. Semua pembaruan ini menegaskan bahwa algoritma bukan sekadar mesin distribusi konten, melainkan fondasi utama dalam membentuk cara kita berkomunikasi, mengonsumsi informasi, hingga menjalankan strategi pemasaran digital. Karena itu, bagi kreator, brand, maupun pemasar, memahami dan menyesuaikan diri dengan arah algoritma terbaru bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan agar dapat menjangkau audiens yang tepat, membangun engagement yang kuat, dan meraih hasil yang optimal.




